Infrastruktur penyuplai air yang dapat langsung diminum seharusnya adalah kebutuhan utama untuk daerah urban perkotaan. Termasuk untuk ibu kota baru yang sudah diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Sebenarnya sejak 1962, Pemerintah Republik Indonesia sudah berinisiasi dengan memperbolehkan level pemerintahan untuk mendirikan Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM. Tetapi, sampai awal 1990, PDAM tidak mampu menyediakan air perpipaan yang dapat langsung diminum.
Permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing PDAM cukup komplek. Beberapa permasalahan yang dihadapi PDAM adalah ketersediaan air baku, kurangnya modal, dan formulasi tarif yang menyebabkan tarif berada di bawah ongkos produksi dan pemeliharaan. Ketika tarif berada di bawah ongkos produksi dan pemeliharaan, upaya untuk menghasilkan dan menyalurkan air yang dapat langsung diminum menjadi gagal.
Singkatnya, rendahnya performa finansial berdampak negatif terhadap performa sistem penyediaan air minum. Usaha untuk mengembangkan cakupan pelayanan air minum pun secara otomatis gagal.
Ketidakmampuan menyediakan air yang dapat langsung diminum menyebabkan warga urban lebih banyak menggunakan air botolan atau air galon. Perkembangan penjualan air dalam galon terus tumbuh membesar dan menjadi bisnis bernilai triliunan. Penggunaan air galon sudah menjadi kebutuhan dasar meskipun konsumsinya mencapai dua per tiga belanja per bulan per rumah tangga.
Sejak periode 1990, strategi nasional berevolusi dengan memperkenalkan apa yang disebut sebagai Public-Private Partnership (PPP) atau di Indonesia dikenal sebagai Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. PAM JAYA misalnya, PDAM yang melayani Provinsi DKI Jakarta, "dipaksa" untuk menggunakan skema KPS. Ibu kota kemudian dibelah menjadi dua wilayah konsesi yang dibatasi oleh Sungai Ciliwung. Wilayah Barat untuk PALYJA dan Wilayah Timur untuk Jakarta.
Singkat cerita, pada 2005 hampir seluruh target teknis dan standar pelayanan yang ditetapkan di dalam kontrak tidak tercapai. Kami memberikan beberapa contoh sebagai indikator. Pertama, dalam kontrak yang ditandatangani 6 Juni 1997 disebutkan bahwa tingkat kehilangan air tak berekening pada 2005 harus sudah mencapai 25%. Sebaliknya pada akhir 2019 tingkat kehilangan air tidak berekening mencapai 40%.
Kedua, dalam kontrak yang sama disebutkan bahwa pada 2005 air perpipaan yang disalurkan ke rumah konsumen sudah dapat langsung diminum, namun pada 2020 tidak ada satu pun pelanggan yang menikmati fasilitas air yang dapat langsung diminum di rumahnya.
Menurut Harsono and Setiyono (2005), PAM JAYA dan kedua mitra swasta berkolusi untuk menurunkan target yang sudah tertulis dalam kontrak 6 Juni 1997. Dengan bayangan bahwa dengan melibatkan pihak swasta, maka "profesionalisme" yang dimiliki dapat ditularkan kepada PAM JAYA sebagai perusahaan daerah. Namun harapan pemerintah pusat pada awal awal 1990-an tidak menjadi kenyataan. Tidak ada air perpipaan yang dapat diminum secara langsung di rumah konsumen dapat diminum secara langsung setelah 22 tahun kerja sama.
Rendahnya investasi untuk mengganti pipa-pipa tua berbahan PVC yang mudah pecah dengan pipa-pipa baru berbahan HDPE yang mampu menghantarkan air minum salah satu penyebabnya. Kebalikan dari rendahnya investasi adalah biaya operasional yang tinggi. Lemahnya pengawasan baik dari PAM JAYA, Provinsi DKI Jakarta mungkin salah satu penyebab utama, namun pihak Kementerian Pekerjaan Umum ternyata tidak mampu melakukan mengendalikan equity sponsor multinasional yang gagal mencapai target-target kontraktual untuk memproduksi dan menyalurkan air yang dapat langsung diminum.
Di Indonesia, air baku (sungai, laut, air tanah) sebelum diproses menjadi air minum adalah barang publik (Constitutional Court of Indonesia Decision No. 85, 18 Februari 2015). Berdasarkan klasifikasi dari pemenang Nobel Ekonomi 2012 Elinor Ostrom, air minum perpipaan disebut sebagai the common-pool resources (CPR) atau "sumber daya milik bersama".
Air perpipaan disebut sebagai CPR karena dua hal. Pertama, non-excludable atau terlalu sulit (terlalu mahal) untuk membatasi akses ke sumber daya. Kedua, high subtractability/rivalries karena setiap meter kubik air yang digunakan oleh individu menghilangkan kesempatan individu lain untuk menggunakannya.
Pemilik suatu benda adalah yang memperoleh manfaat paling besar dari benda tersebut. Dengan demikian, ketika target dalam Kontrak 6 Juni 1997 (contoh: memproduksi air minum pada 2005) tidak tercapai sedangkan setiap tahun PALYJA dan AETRA terus mencatat keuntungan finansial yang besar, maka pemilik sebenarnya air perpipaan adalah pemilik modal PALYJA dan AETRA. Properti air berubah menjadi barang privat.
Wolsink (2012) memberikan bantahan bahwa air minum perpipaan bersifat non-excludable karena jaringan perpipaannya harus ditanam di bawah tanah melewati tanah milik publik (contoh: melewati jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten) dan melewati properti milik individu (contoh: halaman milik warga). Warga negara yang dilewati jaringan perpipaan sebenarnya memiliki akses terhadap pipa air minum yang melewati lahan mereka.
Namun akses tersebut dibatasi karena penggunaan setiap meter kubik oleh konsumen menghilangkan kesempatan individu lain (high subtractability). Dengan demikian pembatasannya menggunakan hukum (pidana) oleh negara (misalnya Kementerian Dalam Negeri).
Sementara pemegang konsesi seperti PALYJA dan AETRA tidak dapat melarang pengambilan air dari jaringan perpipaan yang mereka bangun. Terutama ketika jaringan perpipaan tersebut melewati tanah miliki individu warga negara. Hanya negara yang mampu melarang sebagai bagian dari hukum pidana. Dengan demikian pengaturan kelembagaan mengarah pada kesimpulan bahwa penyediaan air minum terbaik adalah negara itu sendiri.
Terlebih lagi Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 menggarisbawahi apa yang disebut public trust doctrine (Meinzen-Dick & Appasamy, 2002). Public trust doctrine menganut dua doktrin dasar, yaitu air sebagai milik rakyat (public) dan negara sebagai wali amanat (trustee). Secara tidak langsung mengembalikan pengelolaan air minum kepada perusahaan daerah sebagai operator negara.
Kishimoto, Lobina, dan Petitjean (2015) menawarkan konsep re-municipalization untuk pelayanan air minum perpipaan. Re-municipalization adalah antonim dari program kerja sama pemerintah-swasta yang dikampanyekan sejak 1990-an oleh kementerian Pekerjaan Umum. Re-municipalization menurut McDonald (2018) sebenarnya bukanlah hal yang baru, sudah ada sejak zaman peradaban manusia mulai membangun kota dan perkampungan.
Pada waktu peradaban mulai terbentuk, kepemilikan sumur air adalah milik para baron dan tuan tanah di mana sumur tersebut ada. Baru sekitar pertengahan 1800-an terjadi proses municipalize system penyediaan air minum karena baron dan tuan tanah menolak memberikan air minum kepada rakyat miskin yang tidak mampu membayar sesuai harga yang ditetapkan oleh mereka.
Sejak periode 1800 hingga 1990 pemerintah mengambil alih penyediaan air minum dan mengatur sistem subsidi. Kerja Sama Pemerintah dan Swasta pada awal 1990-an sebenarnya adalah mengembalikan penyediaan air minum kepada para baron dan tuan tanah.
*Penulis: N.P. Kadir kandidat doktor Universiteit Twente, The Netherlands
(sumber:detik.com/internet)